News Update :

Postingan Populer

Tarbiyah

Dakwah

Tarbiyah adalah Hati

Senin, 12 Maret 2012

taujihonline - Indonesia kaya dengan budaya daerah dan tradisinya. Demikian pula budaya yang berkembang di kalangan ikhwah antara daerah satu dengan daerah lain tentu berbeda. Dan kita harus berpegang pada manhaj dakwah dalam memandang perbedaan karakter budaya ikhwah di masing-masing daerah. Ada yang modelnya ‘keras’, lembut, ewuh pakewuh, atau keterusterangan. Kita mengenal sosok Abu Bakar As Siddiq yang lembut dan Umar bin Khattab yang ‘keras’. Ketika kita memegang manhaj dakwah diantara perbedaan-perbedaan karakter tersebut, muncullah kesamaan dari setiap ikhwah tersebut, yaitu mereka sama-sama mempunyai Quwwatur-ruh dan Quwwatul qalb. Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki. Dan dua kekuatan tersebut harus dijaga oleh setiap individu dalam jama’ah, apapun karakter kita.

Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.

Apabila seorang da’i tidak mempunyai petunjuk-petunjuk ruhiyah yang menyeluruh, maka hidupnya akan kosong dari kesan dan pengaruh. Ia akan jatuh dan sarang ujub, nifaq dan riya’. Ia akan terjerumus dalam lumpur ghurur, ananiyah (egoisme) dan sombong. Ia berjalan ke arah dakwah karena didorong kepentingan pribadi bukan karena Allah. Ia membangun kejayaan hanya untuk sendiri bukan untuk Islam, dan beramal hanya untuk dunianya bukan untuk akhiratnya. Sesungguhnya Alquran Al Karim dalam tinjauannya yang syamil terhadap alam raya, kehidupan, dan insan telah menjelaskan kepada kita manhaj amaly dalam proses penyiapan ruh insan, pembentukan keimanannya dan tarbiyah kejiwaannya.

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al Anfal ayat 29)

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hadid ayat 28)

“……….barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath Tholaq ayat 2 dan 3)

Dari perbincangan dengan teman-teman di forum pekanan, ternyata kami merindukan suasana tarbiyah di masa lalu. Silaturrahim yang intens, berpelukan hangat, saling mengenal secara mendalam ikhwah lain, dan masih banyak kerinduan yang saat ini sudah mulai renggang. “Tidak boleh!” kata seorang teman saya, “Kita tidak boleh terpukau dengan masa lalu. Masa sekarang adalah masa sekarang. Dakwah kita adalah dakwah yang progresif, bukan dakwah yang statis. Silakan saja membawa nuansa ukhuwah masa lalu untuk masa sekarang, tapi kita jangan berangan-angan pada masa lalu dan menyalahkan masa sekarang”. Demikian pula keluhan seorang ikhwah yang baru datang ke kota ini. Dia merasa aneh dengan ikhwah di sini, beda dengan ikhwah di daerah asalnya. Dalam sebuah acara, dia bersalaman dengan beberapa ikhwah yang baru dikenalnya. Sambutannya dingin. Dia merasa asing di tengah ‘keluarga’ sendiri. Ada pula kisah seorang simpatisan yang merasa dicuekin dengan orang-orang saat beliau mengunjungi markas dakwah.

Kami memang merindukan bulir-bulir cinta itu mengalir indah melalui perkataan dan tangan para ikhwah. Tidak membedakan satu golongan dengan golongan lain. Tidak membedakan status sosial maupun mustawa’ dakwah. Senyuman indah para ikhwah adalah modal mempererat ukhuwwah dan dakwah ummat. Sesungguhnya kita tidak memerlukan uang yang melimpah untuk mempengaruhi seseorang agar mengikuti kehendak kita saat dibalik bilik suara. Bukan itu yang kita perlukan untuk merubah ummat.

Imam Hasan Al Banna menggunakan waktu beberapa menit saja untuk berdakwah di kedai-kedai kopi. Orang-orang di sana adalah kalangan dengan kapasitas ilmu agama yang biasa-biasa saja, bahkan kurang paham dengan agama. Tapi pengaruhnya luar biasa. Banyak di kalangan mereka yang mengikuti gerbong dakwah ini. Termasuk kiprah dakwah beliau yang mampu menarik hati seorang Ulama Besar Al Azhar, yaitu Syaikh Thanthawi Jauhari. Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.

Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub (sebelum bergabung dengan IM) menulis makalah di mana dia menyerukan kepada para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita.Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna. Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang orang ini, berilah beberapa pertimbangan: Pertama: Dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya. Kedua: Anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub oleh Imam Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri. Ketiga: karena dia masih muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban da’wah. Pertimbangan yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak terlalu terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum memiliki nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah tulisan itu, kita berarti menutup kesempatan diri pemuda itu untuk bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu kita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”. Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”. Ustadz Mahmud setuju untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya tulisan itu tidak jadi dikirim. Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, sebab pada akhir perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan iapun bergabung dengan jama’ah ini.

Ketajaman intuisi Syaikh Hasan Al Banna dalam menganalisa perkembangan dakwah tak lepas dari Quwwatur-ruh dan Quwwatul qalb yang beliau miliki. Tentu saja semua ini merupakan karunia Allah.

Ruhiyah yang kita jaga dan hati yang kita jaga pula kebersihannya adalah tugas masing-masing individu. Dan masing-masing individu itu InsyaAllah akan mengantarkan keberkahan bagi dakwah.

Semoga Allah swt memberi pertolongan kepada kita semua.
Wallahu a’lam bisshawwab…
Semarang 29 April 2010

Ustadz

Siapa Yang Berubah Sejatinya?

taujihonline - Masih ingat kisah Bilal, seorang budak dari bangsa Habsy yang telah masuk Islam, dkeluarkan oleh majikannya - Umayah bin Khalaf - pada siang hari yang terik, dia ditelentangkan di padang pasir Makkah yang membara, lalu ditindihkan di atas dadanya sebongkah batu batu besar? “Sungguh engkau akan tetap seperti ini sampai engkau mati atau sampai engkau mengingkari Muhammad dan menyembah tuhan Latta dan Uzza” Kata Umayah. Bilal hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad…” Begitu seterusnya.

Atau kisah Abu Dzar, sesaat setelah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah dia mengucapkan, “Demi Dzat yang diriku berada di dalam kekuasaannya, aku benar-benar akan berteriak di tengah-tengah mereka”. Lalu dia pun pergi ke depan ka’bah dan berteriak lantang, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Maka tak ayal kaum kafir Quraisy beramai-ramai mengepungnya dan memukulinya hingga babak belur. Padahal Rasulullah sebelumnya sungguh telah melarangnya. Bahkan esok harinya diulanginya lagi perbuatan itu.

Atau beberapa puluh tahun yang lalu, kisah dua orang anak umuran SMA yang berangkat ke sekolahnya dengan mengendarai sepeda hampir 20KM setiap hari, setiap mendahului pengendara sepeda lain sesama pelajar yang terlihat ciri-ciri muslimnya, tidak terlewatkan kecuali mereka ucapkan salam kepadanya. Meskipun mereka tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan di kampungnya mereka sempat membikin heboh dengan melakukan takbir dengan pengeras suara di masjid, pada hari kedua hari raya idul fitri!

Barangkali kita akan fasih mengatakan, itulah yang dinamakan militansi. Tetapi yang terjadi kemudian untuk saat ini, tidak sedikit kita kemudian menemukan nada-nada pesismis yang mengatakan, “ah, militansi itu hanya milik para asabiqunal awwalun” atau ”militansi itu biasanya terasa kental ketika jumlah kader dakwah itu masih sedikit”. Atau bahkan mungkin ada yang berpikir, “militansi itu sekarang seperti mutiara yang mahal. Sulit untuk ditemukan kembali.”

Seorang ustadz saya pernah mengatakan, “akhi, kita tidak bisa mengharapkan militansi kader kita seperti dulu.” Tapi beliau tidak sedang pesimis, saya menangkapnya ini sebagai peringatan. Kenapa beliau ungkapkan hal itu di hadapan kami? Tak lain agar kami segera bisa berbenah kembali. Ada mimpi-mimpi besar yang harus kita semai bersama tentunya. Bahwa suatu saat nanti, kita - umat islam ini - harus menjadi guru bagi alam semesta ini (ustadziatul alam). Dan jika kita tidak ikut mendekap mimpi-mimpi itu dengan kerja-kerja kita, tentu akan rugilah kita semua.

Maka membungkus mimpi-mimpi itu dengan baju militansi merupakan keniscayaan. Agar mimpi-mimpi itu senantiasa terwariskan ke generasi-generasi setelah kita. Karena kita sadar dan kita tahu, bahwa mimpi-mimpi itu membutuhkan masa yang panjang. Tidak cukup hanya satu generasi untuk mewujudkannya.

Baju militansi setidaknya membutuhkan kombinasi tiga warna dalam diri kita. Yang pertama adalah warnailah dengan izzah. Yaitu keyakinan dan kebanggaan akan fikrah islam yang kita miliki. Saya ingat, ketika seorang ustadz pernah bercerita. Waktu itu ia diminta untuk mengisi acara di lemhanas, dia bukan siapa-siapa. Tidak ada pangkat atau jabatan yang tersemat kepadanya. Bagi kita, mungkin kita pun akan minder ketika harus presentasi di depan pejabat-pejabat itu. Tapi kata beliau, ”yang saya bentuk dalam benak saya kemudian adalah pikiran bahwa saya mempunyai fikrah islam yang tidak mereka punya. Dan inilah kelebihan saya yang tidak mereka punyai. Jadi kenapa saya harus takut?”

Yang kedua adalah warnailah baju militansi kita dengan hamasah. Semangat menggelora untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Inilah yang terjadi pada Abu Dzar al Ghifari ketika memaklumatkan keislamannya di hadapan kaum kafir quraisy. Meski ia sebenarnya sadar dengan akibatnya tetapi karena adanya semangat yang menggelora itu, maka ia pun melakukannya.

Dan warna yang ketiga adalah ghirah. Apa itu ghirah? Kecemburuan dan semangat pembelaan terhadap Islam. Seorang Abu Bakar yang sejatinya hatinya teramat sangat lembut, ketika mendengar ada kabilah-kabilah yang menolak untuk membayar zakat sepeninggal Rasulullah, tiba-tiba berketetapan untuk memerangi mereka. Bahkan seorang Umar yang berperangai keras pun awalnya tidak setuju dengan keputusan Abu Bakar itu. Akan tetapi demi menegakkan sendi-sendi agama, Abu Bakar tetap bersikukuh sehingga diperangilah para pembangkang tersebut dan akhirnya terpadamlah api fitnah.

Kombinasi ketiga warna itulah - izzah, hamasah dan ghirah - yang perlu kita bentuk dalam diri kita semua, sehingga pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran bahwa militansi itu telah hilang dari diri umat ini tidak menjadi kenyataan. Bahwa sesungguhnya, kapan pun dan dimana pun, militansi itu akan tetap ada dan akan tetap melekat dalam diri kader-kader dakwah ini. Meski mereka barangkali bukan gerbong generasi awal. Meski jumlah kader semakin melimpah dan tersebar merata. Meski kemudahan-kemudahan semakin terbuka lebar. Meski keberlimpahan duniawi bahkan semakin menggoda.

Ya. Semoga Allah mengokohkan langkah-langkah kita semua, agar tetap istiqomah di atas jalan dakwah ini.


@Pancoran :22:45wib 01/06/2009
Ustadz

Nama Keadilan Laris Manis

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*


Nama `keadilan' kini tampaknya laris manis di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Terutama, di negara-negara Arab pada musim revolusi (al tsaurat al `arabiyah) sekarang ini. Yang terakhir ini media Barat sering menyebutnya sebagai the Arab Spring. Media Arab menerjemahkannya dengan al rabii' al `Arabi. Bahasa Indonesianya adalah musim semi.

Saya tidak tahu apa hubungan musim semi dengan revolusi. Mungkin penamaan musim semi diartikan sebagai “harapan lebih baik“. Yakni, agar revolusi yang terjadi di Arab sekarang ini membawa harapan lebih baik kepada rakyat. Lalu, apa hubungan musim semi dan revolusi dengan keadilan?

Tentu bukan suatu kebetulan bila partai Islam di sejumlah negara mayoritas Muslim membawa embel-embel `keadilan' dalam gerakan politik mereka. Di Turki dan Maroko, ada Partai Keadilan dan Pembangunan. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin menamai partai mereka dengan Partai Kebebasan dan Keadilan. Di tiga negara ini, partai-partai tersebut telah memenangkan pemilu secara demokratis. Artinya, partai `keadilan' laris manis dipilih mayoritas rakyat. Sedangkan, di Indonesia ada Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Yang menarik disimak dari partai-partai Islam di Timur Tengah yang membawa embel-embel `keadilan', hampir semuanya tak menonjolkan simbol-simbol Islam. Bahkan, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan lebih mengemukakan nilainilai universal. Sebut misalnya mengenai kebebasan ibadah, kebebasan berpikir, kebebasan ekonomi, kebebasan individu, kesamaan sosial, kesejahteraan masyarakat, antikorupsi, penghormatan terhadap hukum dan undang-undang, serta keadilan buat semua orang.

Nilai-nilai ini ia anggap lebih penting dari sekadar bicara tentang keharusan memelihara jenggot, sidang parlemen harus berhenti ketika mendengar azan, penghapusan pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah karena dianggap bahasa orang kafir, pelarangan musik pop, serta penghancuran patung Mustafa Kemal Ataturk. Kalaupun ia mempersoalkan larangan berjilbab di kantor-kantor pemerintah lebih karena hal itu melanggar HAM dan prinsip-prinsip sekularisme yang dianut oleh Turki.

Di tangan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan, ternyata Turki maju pesat dan sejahtera melebihi masa sebelumnya sejak Mustafa Kemal Ataturk mendeklarasikan Turki sebagai republik sekuler pada 1923. Baik kemajuan di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, maupun sarana dan prasarana.

Di bawah kendali Erdogan, angka pengangguran dan kemiskinan juga berkurang drastis.
Demikian juga penyakit asusila. Prostitusi dilarang, namun kaum perempuan diberi pekerjaan lebih terhormat. Korupsi dijadikan musuh utama bersama.

Di dunia internasional, Erdogan membawa Turki menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Eropa dan anggota NATO (pakta pertahanan atlantik utara). Diplomasi Turki juga sangat agresif untuk menjalin hubungan baik yang saling menguntungkan dengan berbagai negara. Bahkan, Turki merupakan sedikit negara Islam yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk tegas menghukum pelanggaran oleh bangsa Yahudi itu.

Prestasi Erdogan dan pemerintahannya ternyata bukan hanya diapresiasi oleh rakyat Turki yang memilihnya hingga tiga periode. Namun, juga dijadikan model sebagai pemerintahan yang Islami oleh berbagai kalangan, utamanya oleh negara-negara Arab yang baru menjalankan sistem demokrasi. Nama “keadilan“ pun mereka adopsi sebagai nama partai-partai Islam yang kini baru saja memenangkan pemilu di sejumlah negara Arab.

Ya, “kiblat“ itu adalah Turki Erdogani. Bukan negara Islam lain. Dalam sejarah dunia Islam kontemporer, ada empat rujukan yang sering dikatakan sebagai negara Islam. Yaitu, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, dan Afghanistan pada masa Taliban dengan nama The Islamic Emirate of Afghanistan. Satu lagi adalah Kerajaan Arab Saudi. Yang terakhir ini meskipun tak menggunakan nama Islam, undang-undang dan hukumnya menggunakan syariat. Karena itu, berbagai kalangan sering menyebutkannya sebagai negara Islam.

Sedangkan Turki, secara formal adalah negara sekuler. Namun, sejak Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa, Erdogan berhasil mengislamkan Turki. Bagi Erdogan, tampaknya isi lebih penting daripada kulit. Substansi lebih penting daripada sekadar simbol-simbol. Perbuatan lebih bermakna dari sekadar kata-kata.

Kata “keadilan“ yang diadopsi oleh partai-partai Islam tentu bukan sekadar nama. Ia diharapkan bisa membawa perubahan kehidupan yang lebih baik dan Islami bagi rakyat.[]


*REPUBLIKA (Resonansi, 12/3/12)

____________________
*Tentang Penulis:

Ikhwanul Kiram Mashuri - Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.

[Analisis] Angka Misterius dalam RAPBNP 2012




Oleh Iman Sugema, Phd
Analis ekonomi dan perbankan
Akademisi yang meraih doktor bidang moneter dari ANU University




Sesuai dengan judulnya, analisis kali ini memang ditujukan untuk `membongkar' sejumlah angka dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) yang dianggap `meragukan' kebenarannya. Disebut `meragukan' karena alasan-alasan yang mendasarinya kurang logis atau tidak cukup kuat untuk dipercayai kebenarannya.

Karena penyebab utama yang paling banyak disebut adalah kenaikan harga minyak mentah, kita akan memfokuskan analisis terhadap berbagai komponen APBN yang dipengaruhinya. Tentunya masih banyak isu lain yang ingin dikemukakan. Tetapi, mari kita konsentrasikan diskusi kita kepada empat hal berikut ini.

Pertama, sebagaimana tercantum dalam RAPBNP 2012, target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari gas diperkirakan akan turun sebesar 14,8 persen dibanding yang ditetapkan dalam APBN 2012. Hampir tidak ada penjelasan mengenai mengapa target tersebut harus diturunkan.

Kenaikan harga minyak mentah biasanya diikuti dengan kenaikan harga gas dan batu bara. Dengan demikian, perubahan asumsi harga minyak mentah dari 90 dolar AS per barel menjadi 105 dolar AS per barel seharusnya diikuti dengan kenaikan penerimaan negara dari PPh migas dan PNBP dari minyak, gas, dan batu bara.Komponen tersebut di atas memang ditetapkan akan mengalami kenaikan kecuali PNBP dari gas.

Bisa jadi, penurunan PNBP dari gas ini diakibatkan oleh penurunan target produksi gas. Kalau demikian, harus ada penjelasan kenapa produksi gas akan turun dan sejauh mana penurunannya. Konteksnya adalah sementara ini pemerintah mengeluhkan terjadinya pembengkakan belanja negara akibat kenaikan beban subsidi.

Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menggali semua potensi penerimaan semaksimal mungkin. Jangankan kerja keras untuk memaksimalkan penerimaan negara, komponen yang seharusnya mengalami kenaikan kok dibiarkan turun. Ada apa?

Kedua, kenaikan belanja subsidi BBM dan LPG tabung tiga kilogram dari Rp 123, 6 triliun menjadi Rp 137,4 triliun adalah sangat tidak logis. Seharusnya, beban subsidi BBM mengalami penurunan walaupun harga minyak mentah mengalami kenaikan sebesar 15 dolar AS per barel. Berikut adalah penjelasannya.

Besaran perubahan subsidi BBM akan dipengaruhi oleh dua hal, yakni kenaikan harga pokok tanpa subsidi dan kenaikan harga jual bersubsidi. Yang pertama akan menaikkan beban, sedangkan yang kedua akan menurunkan beban subsidi. Pengaruh bersihnya akan sangat bergantung pada berapa besar perbandingan keduanya.

Yang paling gampang adalah menghitung komponen yang kedua. Dengan kenaikan harga eceran dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, akan ada penghematan subsidi sebesar Rp 1.500 per liter. Karena volume yang disubsidi diperkirakan mencapai 40 juta kiloliter atau 40 miliar liter, penghematan yang terjadi adalah sebesar Rp 60 triliun. Angka ini pasti dijamin kebenarannya.

Komponen yang pertama dapat dihitung sebagai berikut.

Kenaikan subsidi terjadi karena dua hal, yaitu kenaikan Indonesia crude price (ICP) sebesar 15 dolar AS per barel dan depresiasi nilai tukar dari Rp 8.800 menjadi Rp 9.000 per dolar AS.

Kenaikan beban subsidi BBM dapat dihitung sebagai berikut.

Kenaikan ICP 15 dolar AS per barel akan sebanding dengan 9,4 sen dolar AS per liter.
Ditambah dengan komponen biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan Pertamina dan pajak, harga pokok akan meningkat menjadi 13 sen dolar AS per liter atau ekuivalen dengan Rp 1.132 per liter. Maka itu, beban tambahan untuk menyubsidi 40 miliar liter adalah Rp 45,3 triliun.

Dengan demikian, karena faktor yang dapat mengurangi subsidi adalah lebih besar dibanding faktor yang meningkatkan subsidi, seharusnya beban subsidi dalam RAPBNP 2012 mengalami penurunan. Beban subsidi seharusnya turun sebanyak Rp 15 triliun dan bukannya naik Rp 14 triliun.

Selisih perhitungan saya dengan angka yang ada di RAPBNP mencapai Rp 29 triliun. Sebuah besaran yang tidak mungkin terjadi akibat salah ketik. Mestinya ada kesengajaan untuk membengkakkan perhitungan beban subsidi. Alasannya apa? Harap para anggota DPR mencermati angka ini.

Ketiga adalah sangat sulit untuk memahami pembengkakan subsidi listrik dari Rp 44,9 triliun menjadi Rp 93 triliun. Ini merupakan pembengkakan subsidi dua kali lipat lebih dan tak mungkin hanya merupakan akibat dari kenaikan harga minyak dunia.

Dalam RAPBNP 2012 hanya disebutkan membengkaknya subsidi listrik merupakan akibat dari risiko perubahan berbagai parameter subsidi listrik, seperti penyesuaian commercial operation date (COD) PLTU, keterlambatan pengoperasian Floating Storage Regasification Unit (FSRU), kenaikan harga batu bara, dan kekurangan pembayaran subsidi listrik tahun 2010.

Kenaikan harga batu bara akan linier dengan kenaikan harga minyak mentah yang sekitar 16,7 persen. Kalaupun harga batu bara naik 20 persen, tetap sangat sulit untuk menyebutnya sebagai faktor yang menyebabkan kenaikan subsidi. Dengan harga ICP 105 dolar AS per barel, ongkos pembangkitan PLTU batu bara hanya sekitar delapan atau sembilan sen per kwh. Tanpa subsidi sekalipun, PLTU batu bara tetap bisa beroperasi secara komersial.

Jadi, yang paling mungkin menjadi penyebab pembengkakan subsidi listrik adalah keterlambatan COD dan FSRU. Dalam bahasa sederhananya, terjadi keterlambatan dalam pengalihan energi primer dari PLTU BBM ke PLTU gas dan batu bara. Kalau ini yang terjadi, wajib dipertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas keterlambatan ini.

Jangan sampai masyarakat dibebani kenaikan TDL karena pihak-pihak tertentu masih mempertahankan inefisiensi di tubuh PLN akibat menggunakan energi yang mahal, yakni BBM. Ada yang menangguk untung besar dari dipertahankannya BBM sebagai sumber energi PLTU. Padahal, kita bisa mempercepat pemakaian gas dan batu bara yang lebih murah.

Mohon para anggota DPR membongkar siapa yang akan diuntungkan. Yang jelas rakyatlah yang dirugikan.


[REPUBLIKA, 12/3/12]

Akhlak: Modal Sinergi

Sinergi antar gerakan Islam akan mudah diwujudkan, jika masing-masing gerakan—kalangan elit maupun pengikutnya—memiliki modal akhlak yang sama, berdiri di atas landasan moral yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

Paling tidak ada 6 modal akhlak yang menjadi syarat terwujudnya sinergi antar gerakan Islam. DR. Yusuf Qaradawi menjelaskan hal ini dalam Fiqhul Ikhtilaf, berikut ringkasannya:


Pertama, ikhlas karena Allah dan terbebas dari hawa nafsu. Menurut beliau, seringkali perselisihan antar kelompok atau pribadi nampak secara lahiriah sebagai perselisihan ilmiah atau mengenai masalah-masalah pemikiran semata-mata. Tetapi sesungguhnya perselisihan tersebut timbul karena faktor egoisme dan memperturutkan hawa nafsu yang dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah.

Seringkali perselisihan itu terjadi karena faktor-faktor pribadi dan popularitas, sekalipun dibalut dengan kepentingan Islam atau jama’ah dan lain sebagainya yang tidak diketahui bahkan oleh manusia itu sendiri.

Banyak perselisihan timbul hanya karena si Zaid menjadi pemimpin atau karena si Umar menjadi komandan, kemudian para pengikut masing-masing mengira sebagai perselisihan mengenai prinsip dan pemahaman. Padahal ia merupakan perselisihan memperebutkan kepemimpinan atau jabatan.

Tarbiyah Islamiah senantiasa menempa agar setiap mu’min menjadikan tujuannya hanyalah mencari ridha Allah, bukan ridha makhluk, kebahagiaan akhirat, bukan kemaslahatan duniawi. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah, bukan apa yang ada di sisi manusia.

“Apa yang di sisimu akan lenyap, sedangkan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 96).


Kedua, meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan. Seseorang bisa berlaku ikhlas sepoenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab, dan golongan.

Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.

Seseorang harus melepaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri, mazhab, kelompok, atau partai. Al-Qur’an menceritakan beberapa contoh dari orang-orang fanatik ini sebagai kecaman terhadap mereka dan peringatan kepada kaum muslimin agar tidak mengikuti jejak langkah mereka.

Firman Allah tentang Bani Israil:

Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Lalu mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. " (QS. Al-Baqarah, 2: 91).

Firman Allah tentang orang-orang Musyrik:

Apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al-Baqarah, 2: 170)

Diantara akhlak meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan ialah sikap melihat kepada perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia punya keberanian untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima dengan lapang dada kritik orang lain. Ia tidak segan meminta nasehat dan evaluasi dari orang lain, memanfaatkan ilmu dan hikmah yang dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika memang pendapatnya baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan yang batil atau dilecehkan dengan tidak benar.


Ketiga, berprasangka baik kepada orang lain. Diantara akhlak dasar yang penting dalam pergaulan sesama aktivis Islam ialah berprasangka baik kepada orang lain dan mencopot kacamata hitam ketika melihat amal-amal dan sikap-sikap mereka. Akhlak dan pandangan seorang mu’min tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

Allah melarang kita menganggap diri suci. Firman-Nya:

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm, 53: 32)

Seorang mu’min—seperti dikatakan oleh para salaf—lebih keras mengadili diri sendiri ketimbang mengadili penguasa yang zalim atau teman yang bakhil. Ia senantiasa menuduh dirinya sendiri. Tidak memberikan toleransi kepada dirinya dan tidak mencari-cari dalih atas kesalahan-kesalahannya. Ia senantiasa dihantui rasa kurang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menunaikan hak-hak hamba Allah.

Di samping itu ia senantiasa mencarikan alasan bagi kesalahan-kesalahan makhluk Allah, terutama para saudaranya dan orang-orang yang berjuang bersama-sama untuk membela agama Allah. Ia senantiasa mengatakan apa yang diucapkan oleh sebagian salaf yang shalih: “Aku mencarikan ‘udzur (alasan) bagi kesalahan saudaraku sampai tujuh puluh alas an, kenudian aku katakana lagi: barangkali dia punya alas an lain yang tidak aku ketahui”.

Diantara cabang iman yang terbesar ialah: Berprasangka baik kepada Allah dan manusia. Kebalikannya ialah: Berprasangka buruk kepada Allah dan hamba Allah.


Keempat, tidak menyakiti dan mencela. Diantara factor penyambung hubungan ialah sikap tidak menyakiti dan mencela orang yang berbeda pendapat serta meminta ma’af kepadanya sekalipun dia salah dalam anggapan Anda. Bisa jadi dia yang benar dan Anda yang salah, sebab dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tarjih itu sendiri tidak berarti sebuah kepastian.

Orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyah juga tidak boleh dicela sama sekali. Kesalahannya harus dimaafkan bahkan mungkin saja dia memperoleh pahala dari Allah sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi.

Bagaimana mungkin kita mencela dan menyakiti orang yang melakukan ijtihad yang telah diberi pahala oleh Allah, sekalipun hanya satu pahala?

Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat menyangkut masalah ijtihadiyah. Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji, sekalipun tetap berbeda pendapat.


Kelima, menjauhi jidal dan permusuhan sengit. Di lapangan dakwah Islam kita saksikan adanya orang-orang yang tidak punya perhatian kecuali perbantahan dalam segala hal. Mereka tidak punya kesiapan untuk menerik pendapatnya sedikitpun. Mereka hanya menginginkan agar orang lain mengikuti pendapatnya. Mereka merasa selalu benar sedangkan orang lain senantiasa salah.

Diantara mereka ada yang mengecam fanatisme kepada madzhab tetapi mereka sendiri membuat madzhab baru dan menyerang orang lain yang tidak sepaham dan tidak mau mengikutinya.

Diantara mereka ada yang mengaharamkan taqlid tetapi mereka sendiri menuntut orang lain agar mengikutinya. Atau melarang taqlid kepada ulama terdahulu, sementara mereka sendiri bertaqlid kepada ulama sekarang.

Diantara mereka ada yang melakukan konfrontasi demi masalah-masalah furu’iyah (cabang) dan sektoral. Padahal para salaf sendiri pernah memperselisaihkannya, tetapi tidak sampai menimbulkan keruhnya hubungan sesama saudaranya.

Rasulullah SAW mengecam keras perbantahan dan menganjurkan ummatnya agar menjauhinya. Dari Abu Umamah ra bahwa Nabi SAW bersabda:

“Aku menjamnin istana di pinggir sorga bagi orang yang meninggalkan perbantahan sekalipun dia benar…” (HR. Abu Dawud).

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan petunjuk, kecuali karena mereka melakukan perbantahan.” (HR. Turmudzi)

Perbantahan dan perdebatan yang paling dibenci ialah perbantahan di sekitar Al-Qur’an yang sesungguhnya diturunkan Allah untuk member kata putus terhadap apa yang diperselisihkan oleh manusia. Jika Al-Qur’an dijadikan sumber perselisihan maka ukuran dan pedoman apa lagi yang akan dijadikan rujukan oleh manusia?

Ibnu Amer berkata: “Aku dan saudaraku pernah duduk dalam sebuah majelis yang lebih aku sukai daripada onta merah. Saat itu aku dan saudaraku datang. Namun ada beberapa orang sahabat Rasulullah SAW duduk di salah satu pintunya. Kami ntidak ingin memisahkan tempat duduk mereka, sehingga kami duduk terpisah di sudut. Tiba-tiba mereka menyebutkan satu ayat Al-Qur’an dan memperdebatkannya sehingga suara mereka semakin keras. Mendengar ini Rasulullah SAW langsung keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya. Seraya menaburkan pasir kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda:

“Dengan inilah ummat-ummat sebelum kalian binasa. Mereka menentang para Nabi mereka dan mempertentangkan sebagian isi Al-Kitab dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan sebagiannya mendustakan sebagian yang lain. Tetapi justru sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Apa yang telah kamu ketahui darinya hendaklah kamu amalkan dan apayang belum kamu ketahui hendaklah kamu kembalikan (tanyakan) kepada orang yang mengetahuinya.” (Hadits nomor 6702 dari Al-Musnad [1/174-175]. Syakir berkata: sanadnya shahih).


Keenam, dialog dengan cara yang lebih baik.

Allah SWT berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125).

Dalam ayat ini terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau’izhah) dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mau’izhah cukup dengan cara yang baik (hasanah), tetapi dalam melakukan jidal tidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan).

Ada dua cara dalam jidal. Pertama, ialah cara yang baik dan yang kedua cara yang lebih baik. Kita diperintahkan untuk mengikuti yang lebih baik.

Mau’izhah—biasanya—ditujukan kepada orang-orang yang menerima dan sudah komit dengan prinsip dan fikrah. Mereka tidak memerlukan kecuali nasehat yang meningatkan, memperlembut hati, menjernihkan kekeruhan dan memperkuat tekad mereka. Sedangkan jidal—biasanya—ditujukan kepada orang-orang yang menentang, yang seringkali membuat orang yang berselisih pendapat dengan mereka tidak sabar sehingga mengeluarkan ungkapan kasar dan sikap kaku. Maka dengan bijaksana Al-Qur’an memerintahkan kita agar mengambil cara yang lebih baik dalam berdialog dengan mereka, agar memberikan hasil yang baik. Diantara caranya ialah berdialog dengan memilih ungkapan-ungkapan yang lembut dan sejuk. Al-Qur’an dalam menghadapi orang-orang Yahudi dan Nasrani menggunakan ungkapan yang menyiratkan makna pendekatan antara mereka dan kaum muslimin. Seperti ungkapan ‘Ahlul Kitab’ atau orang-orang yang diberi Al-Kitab.

Bahkan kepada orang-orang musyrik penyembah berhala, Al-Qur’an tidak menggunakan ungkapan, “Wahai orang-orang musyrik”, tetapi memanggil mereka dengan, “Wahai manusia”. Di dalam Al-Qur’an tidak terdapat seruan kepada orang-orang musyrik dengan menggunakan ungkapan kemusyrikan atau kekafiran kecuali di dalam surat Al-Kafirun. Itu pun karena tujuan khusus yaitu memupus harapan kaum musyrikin dalam merayu kaum muslimin agar bersedia mengalah sedikit dalam masalah aqidah mereka, aqidah tauhid. Oleh sebab itu ayat tersebut mengulang-ulang masalah tauhid dengan beberapa ungkapan sebagai peneguhan. Sekalipun demikian surat tersebut diakhiri dengan sebuah ayat yang mencerminkan, puncak toleransi: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Diantara cara dialog yang baik ialah menekankan pada ‘titik pertemuan’ dan ‘faktor kesepakatan’ antara Anda dan mitra dialog Anda. Cara ini adalah cara Qur’ani yang harus kita kenali dan terapkan. Perdebatan-perdebatan para Rasul dengan kaum mereka, sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an, memperjelas sikap ini. Sikap lembut, sopan, dan menggunakan ungkapan yang sejuk dalam dakwah dan dialog.[]

*http://al-intima.com/harakatuna/akhlak-modal-sinergi

Mengelola Ketidaksempurnaan

Oleh Anis Matta

Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad. Apa lagi yang tersisa dari kecantikan setelah habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad saw? Apa lagi yang tersisa dari kebajikan hati setelah ia direbut Utsman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan setelah ia direbut habis oleh Aisyah?

Kita hanya berbagi dari sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta kita selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilhan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shalih yang tidak menawan atay perempuan yang shalihah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisi itu Imam Ghazali mengatakan: “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah saw bersabda, “Tapi pilihlah calon istri yangt taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”

Persoalan kita dalam ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Putri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar menusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Putrei yang pernah menjadi trensetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk di sia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada yang secara objektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua, ketimbang diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, “Karena saya lebih bisa berbicara dengan Camila”.

Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang atau hilang bersama waktu. Bukan karena kecantikan atau ketampanan berkurang. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibatnya sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.

Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa diubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketika hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman tatapan mata serta gerak refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak perlu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.

Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itulah pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.[]


*Buku Serial Cinta

Harokah

Keluarga

Inspirasi

 

© Copyright Jajal Template 2012 | Design by Obral Blog | Jasa Pembuatan Blog | Powered by Blogger.com.